Monumen Pekalongan |
Tanggal 2 Oktober kita mengenal hari Peringatan
Batik karena pada 2 Oktober 2009 Batik secara resmi masuk warisan budaya tak
benda milik asli Indonesia oleh UNESCO dan tanggal 3 Oktober masyarakat Kota Pekalongan
mengenang sejarah terjadinya peristiwa pertempuran 3 Oktober 1945. Ada korelasi
yang menarik tentang batik dan peristiwa di bulan Oktober tersebut.
Sejarah mencatat pada masa itu gerakkan perjuangan
kemerdekaan ditandai menyerahnya Jepang kepada sekutu dan dilanjutkan Bung
Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa dan Rakyat Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan, sehingga rakyat Pekalongan pun
serentak bergembira ria dan turun ke jalan dengan memakai lencara merah putih
didadanya.
Tanggal 3 Oktober 1945, sejak pagi rakyat Pekalongan
berduyun-duyun membanjiri jalan Kebon Raja / Pasar Ratu sekitar markas Kempetai.
Diantara rakyat ini ada Suwarno, Sunaryo, Utarman dan tokoh ulama KH. Syafi’i turut
serta memberikan dukungan kepada utusan perundingan dari Pekalongan seperti :
Mr. Besar, Dr. Sumbaji, Dr. Ma’as, R. Suprapto, A. Kadir Bakri dan Jauhar Arifin
dan 2 tokoh yang tidak ikut hadir adalah Kromolawi dan KH. Moh. Ilyas. Gagalnya
perundingan membawa korban 37 orang yang gugur dan 12 orang cacat mereka adalah
pejuang kemerdekaan. Yang cukup mendebarkan hati adanya 3 orang pemuda pemberani
naik ke atas genting dengan maksud mengibarkan sang Dwi Warna (Merah Putih),
tetapi di tembak oleh Jepang. Tiga pemuda itu adalah Rahayu, Mumpuni dan Bismo.
BATIK HOKOKAI
Disisi lain, pendudukan Jepang tahun 1942 –
1945 membuat para perajin batik terhimpit mengalami kesulitan. Hampir semua masyarakat
khususnya di pulau Jawa menderita kesulitan ekonomi, banyak masyarakat yang
kelaparan pada masa penjajahan Dai Nippon Jepang. Salah seorang tokoh Pekalongan
anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) Karesidenan Pekalongan, kromolawi diangkat
oleh Jepang sebagai kepala pelopor. Melalui organisasi Hokokai para pengusaha batik
di Pekalongan digerakkan membuat batik gaya Jepang. Diantara pengusaha yang
mendapatkan order itu adalah H. Djajuli yang diteruskan kepada pengusaha lain.
Meski memperoleh pesanan namun kondisi akibat penjajahan
Jepang para perajin cukup banyak yang mengalami kesulitan. Para perajin pun
banyak mensiasati dengan membuat batik dengan cara membuat batik yang proses
pengerjaannya sengaja di buat motif yang lebih rumit, praktis ini memperlukan waktu
pengerjaan yang cukup lama. Strategi perajin ini terpaksa dilakukan untuk mengukur
waktu dan memperpanjang arus perdagangan yang terputus akibat kelangkaan
berbagai bahan batik. Sementara corak dimaksimalkan dengan menerapkan
motif-motif flora maupun fauna, seperti kupu-kupu dan bunga anggrek. Batik
desain ini sekarang kita mengenalnya dengan istilah Batik Hokokai
(Perhimpunan Rakyat Djawa).
Salah satu ciri batik ini dibuat dengan sistem pagi
sore. Langkah ini dilakukan untuk menghemat kain yang saat itu mengalami keterbatasan.
Sehingga selembar kain batik bisa digunakan dua kali oleh pemiliknya, karena
dua sisinya berbeda warna dan corak. Sehingga bisa dikenakan pemakainya untuk busana
pagi dan sore.
Adapun proses lamanya waktu penggarapan
dimaksudkan agar para pekerjaan tetap bisa memperoleh jatah makan, mengingat masa
pendudukan Jepang cukup banyak masyarakat yang menderita kelaparan.
BATIK BECAK
Hubungan Jepang – Indonesia pada masa
pendudukan dimanfaatkan oleh para perajin dengan memberikan desain batik untuk kimono
sebagai pakaian khas Jepang. Batik ini hanya di buat di Pekalongan. Apalagi setelah
Jepang menyetujui Tuntutan Rakyat Pekalongan yang berisi 6 poin yakni : pertama,
seluruh Bala Tentara Jepang dan sipil akan di jemput Butaicho dari Purwokerto, kedua,
semua peralatan perang diserahkan kepada Ex Dai Dancho Pekalongan; ketiga,
pemerintahan dipindah alihkan kepada pejabat Indonesia; keempat, tanggung
jawab keamanan menjadi tanggung jawab orang Indonesia; kelima, Ex Dai
Dancho mengawal utusan Butaicho dari Purwokerto di Tegal dan dijamin keamanan
selama perjalanan pulang pergi ke Pekalongan; keenam, penyerahan senjata
dilaksanakan setelah sampai di Tegal dengan cara diam-diam.
Dari hasil rampasan milik tentara Jepang
kemudian muncul Batik Becak. Uniknya batik ini adalah hanya menggunakan
warna kelengan karena pewarna indigosol sangat langka. Disisi lain kain yang
digunakan tidak standar dan kain itu memang diperoleh dari hasil rampasan milik
bala tentara Jepang yang diangkut menggunakan becak.
Setelah pendudukan penjajah Jepang usai, batik
Hokokai tetap di produksi oleh para perajin, namun mananya diganti menjadi Batik
Djawa Baroe. Ini sehubungan adanya situasi pemerintah yang baru pasca
pendudukan Jepang.
Pemerintah berserta segenap rakyat yang
berhasil melakukan perjuangan merebut kemerdekaan ikut mempengaruhi semangat
perkembangan batik di Pekalongan, simpul perdagangan yang semula tersumbat
kembali mulai menunjukkan kelancaran.
SEMANGAT KEKINIAN
Kandungan sejarah yang ada pada motif batik
harus tetap dijaga dan dibelajarkan kepada generasi sekarang. Demikian pula peristiwa
pertempuran 3 Oktober 1945. Nilai-nilai kepahlawan yang telah ditunjukkan oleh
para syuhada yang membela kehormatan bangsa dan negara khususnya mempertahankan
kedaulatan di daerah Pekalongan harus kita junjung tinggi.
Penghargaan terhadap para pahlawan tersebut, belum
begitu maksimal, sudah selayaknya nama-nama pahlawan Pekalongan diabadikan
untuk nama jalan, nama gedung, dan sebagainya. Perlu adanya Museum khusus peristiwa
3 Oktober 1945 sebagai bukti sejarah dan media pendidikan kepahlawanan
disamping itu peringatan pertempuran 3 Oktober perlu dikaji kembali, dikemas
dalam acara yang lebih bermakna, lebih spektakuler serta lebih banyak
melibatkan tokoh masyarakat, budayawan, seniman, dan akademisi sehingga transfer
patriotisme dari para pelaku sejarah kepada generasi sekarang dapat terlaksana
dan penghormatan jasa-jasa para pahlawan menjadi nilai adiluhur bangsa ditengah
krisis multidimensi.
sayang pelaku sejarah pertempuran,pemerhati sejarah pekalongan dan nara sumber bagi perkemba ngan kota pekalongan dari jaman kejaman serta pel aku dokumentasi pekalongan belum begitu lama tia ada,tapi walaupun begitu apa yang beliau tinggalkan smoga bermanfaat bagi sumber peneliti an pekalongan,dk perlu banyak meng kaji kpd beliau H mohammad aswan tary alm
BalasHapus