Rabu, 20 Juni 2012

BATIK HOKOKAI DAN PERTEMPURAN 3 OKTOBER


urbansoganart
Monumen Pekalongan
Tanggal 2 Oktober kita mengenal hari Peringatan Batik karena pada 2 Oktober 2009 Batik secara resmi masuk warisan budaya tak benda milik asli Indonesia oleh UNESCO dan tanggal 3 Oktober masyarakat Kota Pekalongan mengenang sejarah terjadinya peristiwa pertempuran 3 Oktober 1945. Ada korelasi yang menarik tentang batik dan peristiwa di bulan Oktober tersebut.
Sejarah mencatat pada masa itu gerakkan perjuangan kemerdekaan ditandai menyerahnya Jepang kepada sekutu dan dilanjutkan Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa dan Rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan, sehingga rakyat Pekalongan pun serentak bergembira ria dan turun ke jalan dengan memakai lencara merah putih didadanya.
Tanggal 3 Oktober 1945, sejak pagi rakyat Pekalongan berduyun-duyun membanjiri jalan Kebon Raja / Pasar Ratu sekitar markas Kempetai. Diantara rakyat ini ada Suwarno, Sunaryo, Utarman dan tokoh ulama KH. Syafi’i turut serta memberikan dukungan kepada utusan perundingan dari Pekalongan seperti : Mr. Besar, Dr. Sumbaji, Dr. Ma’as, R. Suprapto, A. Kadir Bakri dan Jauhar Arifin dan 2 tokoh yang tidak ikut hadir adalah Kromolawi dan KH. Moh. Ilyas. Gagalnya perundingan membawa korban 37 orang yang gugur dan 12 orang cacat mereka adalah pejuang kemerdekaan. Yang cukup mendebarkan hati adanya 3 orang pemuda pemberani naik ke atas genting dengan maksud mengibarkan sang Dwi Warna (Merah Putih), tetapi di tembak oleh Jepang. Tiga pemuda itu adalah Rahayu, Mumpuni dan Bismo.

BATIK HOKOKAI
Disisi lain, pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945 membuat para perajin batik terhimpit mengalami kesulitan. Hampir semua masyarakat khususnya di pulau Jawa menderita kesulitan ekonomi, banyak masyarakat yang kelaparan pada masa penjajahan Dai Nippon Jepang. Salah seorang tokoh Pekalongan anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) Karesidenan Pekalongan, kromolawi diangkat oleh Jepang sebagai kepala pelopor. Melalui organisasi Hokokai para pengusaha batik di Pekalongan digerakkan membuat batik gaya Jepang. Diantara pengusaha yang mendapatkan order itu adalah H. Djajuli yang diteruskan kepada pengusaha lain.
Meski memperoleh pesanan namun kondisi akibat penjajahan Jepang para perajin cukup banyak yang mengalami kesulitan. Para perajin pun banyak mensiasati dengan membuat batik dengan cara membuat batik yang proses pengerjaannya sengaja di buat motif yang lebih rumit, praktis ini memperlukan waktu pengerjaan yang cukup lama. Strategi perajin ini terpaksa dilakukan untuk mengukur waktu dan memperpanjang arus perdagangan yang terputus akibat kelangkaan berbagai bahan batik. Sementara corak dimaksimalkan dengan menerapkan motif-motif flora maupun fauna, seperti kupu-kupu dan bunga anggrek. Batik desain ini sekarang kita mengenalnya dengan istilah Batik Hokokai (Perhimpunan Rakyat Djawa).
Salah satu ciri batik ini dibuat dengan sistem pagi sore. Langkah ini dilakukan untuk menghemat kain yang saat itu mengalami keterbatasan. Sehingga selembar kain batik bisa digunakan dua kali oleh pemiliknya, karena dua sisinya berbeda warna dan corak. Sehingga bisa dikenakan pemakainya untuk busana pagi dan sore.
Adapun proses lamanya waktu penggarapan dimaksudkan agar para pekerjaan tetap bisa memperoleh jatah makan, mengingat masa pendudukan Jepang cukup banyak masyarakat yang menderita kelaparan.

BATIK BECAK
Hubungan Jepang – Indonesia pada masa pendudukan dimanfaatkan oleh para perajin dengan memberikan desain batik untuk kimono sebagai pakaian khas Jepang. Batik ini hanya di buat di Pekalongan. Apalagi setelah Jepang menyetujui Tuntutan Rakyat Pekalongan yang berisi 6 poin yakni : pertama, seluruh Bala Tentara Jepang dan sipil akan di jemput Butaicho dari Purwokerto, kedua, semua peralatan perang diserahkan kepada Ex Dai Dancho Pekalongan; ketiga, pemerintahan dipindah alihkan kepada pejabat Indonesia; keempat, tanggung jawab keamanan menjadi tanggung jawab orang Indonesia; kelima, Ex Dai Dancho mengawal utusan Butaicho dari Purwokerto di Tegal dan dijamin keamanan selama perjalanan pulang pergi ke Pekalongan; keenam, penyerahan senjata dilaksanakan setelah sampai di Tegal dengan cara diam-diam.
Dari hasil rampasan milik tentara Jepang kemudian muncul Batik Becak. Uniknya batik ini adalah hanya menggunakan warna kelengan karena pewarna indigosol sangat langka. Disisi lain kain yang digunakan tidak standar dan kain itu memang diperoleh dari hasil rampasan milik bala tentara Jepang yang diangkut menggunakan becak.
Setelah pendudukan penjajah Jepang usai, batik Hokokai tetap di produksi oleh para perajin, namun mananya diganti menjadi Batik Djawa Baroe. Ini sehubungan  adanya situasi pemerintah yang baru pasca pendudukan Jepang.
Pemerintah berserta segenap rakyat yang berhasil melakukan perjuangan merebut kemerdekaan ikut mempengaruhi semangat perkembangan batik di Pekalongan, simpul perdagangan yang semula tersumbat kembali mulai menunjukkan kelancaran.

SEMANGAT KEKINIAN
Kandungan sejarah yang ada pada motif batik harus tetap dijaga dan dibelajarkan kepada generasi sekarang. Demikian pula peristiwa pertempuran 3 Oktober 1945. Nilai-nilai kepahlawan yang telah ditunjukkan oleh para syuhada yang membela kehormatan bangsa dan negara khususnya mempertahankan kedaulatan di daerah Pekalongan harus kita junjung tinggi.
Penghargaan terhadap para pahlawan tersebut, belum begitu maksimal, sudah selayaknya nama-nama pahlawan Pekalongan diabadikan untuk nama jalan, nama gedung, dan sebagainya. Perlu adanya Museum khusus peristiwa 3 Oktober 1945 sebagai bukti sejarah dan media pendidikan kepahlawanan disamping itu peringatan pertempuran 3 Oktober perlu dikaji kembali, dikemas dalam acara yang lebih bermakna, lebih spektakuler serta lebih banyak melibatkan tokoh masyarakat, budayawan, seniman, dan akademisi sehingga transfer patriotisme dari para pelaku sejarah kepada generasi sekarang dapat terlaksana dan penghormatan jasa-jasa para pahlawan menjadi nilai adiluhur bangsa ditengah krisis multidimensi.

1 komentar:

  1. sayang pelaku sejarah pertempuran,pemerhati sejarah pekalongan dan nara sumber bagi perkemba ngan kota pekalongan dari jaman kejaman serta pel aku dokumentasi pekalongan belum begitu lama tia ada,tapi walaupun begitu apa yang beliau tinggalkan smoga bermanfaat bagi sumber peneliti an pekalongan,dk perlu banyak meng kaji kpd beliau H mohammad aswan tary alm

    BalasHapus