Rabu, 20 Juni 2012

SENI TRADISI DI UJUNG PERADABAN


 
Seiring perkembangan zaman, semakin kompleks pula seni yang tercipta, kini di era modern banyak perkembangan seni yang tercipta sesuai budaya modern, sekarang kita mengenal yang namanya desain grafis, mural, grafiti, street art, performent art, video art bahkan video mapping yang dapat dikategorikan karya seni baru atau bisa disebut sebagai karya seni kontemporer. Timbul satu pertanyaan yang mengelitik, bagaimana nasib seni tradisi? Punahkah? Ternyata tidak karena seni tradisi adalah akar seni modern.
Jejak peradaban suatu bangsa berkembang selaras dengan perkembangan kebudayaannya. Di dalamnya perkembangan seni tradisi, sains dan teknologi. Seni tradisi dalam banyak hal dipengaruhi oleh orientasi nilai hidup manusia dalam proses interaksinya dengan alam, sesama manusia, dan Tuhan. Dari sini kita bisa lihat bahwa pada seni tradisi, dapat kita temukan beberapa aspek yang melatarbelakangi. Aspek-aspek tersebut antara lain aspek magis, spiritualitas dan aspek kebiasaan-kebiasaan alamiah (natural habits).
Intensitas dari semua aspek itu dalam kehidupan manusia, kemudian menjadi dimensi nilai dasar. Bagi masyarakat Indonesia yang dipengaruhi banyak oleh dinamisme, animisme, politeisme dan akhirnya monotheisme, seni tradisi merupakan padanan harmonis manusia dengan alam sekitarnya.
Kehidupan manusia dan alam membentuk suatu habitat, yang memberikan dasar pemikiran serta daya kreatif manusia untuk mengekspresikan berbagai pemahaman mereka mengenai hidup dan kehidupan. Melalui berbagai karya sastra tradisi, yang kelak mempengaruhi perkembangan seni tradisi lainnya, kita menemukan korelasi integratif seni tradisi dengan ekspresi budaya masyarakat yang eksis hingga saat ini.
Apa yang kita sering lihat bukan melakukan di negeri ini, dengan berbagai ritual adalah bukti kongret bagaimana seni tradisi tidak terpisahkan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Di dalam Dharma Ciksakanda, sepuluh ajaran kehidupan bagi manusia, misalnya, diuraikan dengan terang korelasi nilai hidup manusia dengan alam. Itulah sebabnya, seni tradisi sering juga disebut sebagai natural art: seni yang dilahirkan oleh alam.
N. Syamsuddin Ch Haesy, pemimpin umum majalah Seni ARTI dalam ulasan artikulasi di majalah tersebut, menegaskan bahwa Natural Art tak semata-mata menghasilkan karya-karya artistik, karena di dalamnya terintegrasi dengan kuat pemahaman estetik dan etik dalam satu kesatuan yang utuh. Lebih jauh lagi N. Syamsuddin Ch. Haesy memaparkan bahwa ketika Dharma Ciksakanda mengisyaratkan manusia mesti belajar pada habitat satwa dan tetumbuhan untuk mengenali alam lebih jauh, hampir seluruh seni tradisi kita mengekspresikannya secara impresif dan ekspresif.
Apa yang kita lihat dan rasakan sebagai ekspresi seni masyarakat Indonesia, merupakan produk daya kreatif dalam memahami dan menterjemahkan dinamika alam. Seni tradisi berhubungan dengan tanah dan air. Itulah yang kita temukan dalam berbagai ritual yang menjelma menjadi kesenian. Mulai dari tanah Papua, sampai Pulau We di Ujung Barat. Karenanya seni tradisi juga sering disebut sebagai Motherland Art.
Lambang-lambang yang terdapat dalam cabang sebni rupa tradisi pun integrasi dengan seluruh anasir yang terdapat pada alam. Contoh kongkretnya antara lain, batik, sarung, songket, sutra dan tenun ikat pun demikian halnya dengan kendang, tifa, gondang dan berbagai instrumen musik perkusi tradisional. Meskipun gong, kempul, saron, kenong dan alat tetabuhan nayaga merupakan produk budaya impor yang masuk bersamaan dengan masuknya ajaran Hindu dan Budha.
Demikian pula sintren, kecapi, pakacaping dan sasando merupakan instrumen musik string, produk seni yang berkembang secara khas di lingkungan masyarakat Jawa, Sunda, Bugis, Rote, Batak dan Dayak. Berbeda dengan ukulele yang dibawa oleh penjajah Portugis karena di Champa, China dan Vietnam Ukulele juga bisa ditemukan.
Proses kreatif seni tradisi, pada masyarakat merupakan vision treathment masyarakat tradisi dalam mempertahankan dan mengembangkan ekspresi budayanya. Inilah daya hidup seni tradisi, yang mengikat seluruh kalangan mulai masyarakat paling rendah hingga Raja. Karenanya, begitu banyak produk seni tradisi yang merupakan karya kreatif para Raja. Terutama dalam bentuk tarian. Ngremo dan Pakarena, misalnya boleh disebut sebagai contoh dari begitu banyak karya kreaqtif kaum bangsawan.
Dimensi lain seni tradisi kita dapatkan dari begitu banyak karya sastra tradisi, atau sastra lisan: Puisi, prosa liris, tembang, mocopat dan sejenisnya. Mulai dari sastra bertendensi berdimensi istana sentris, sampai sastra religius dan sastra pembebasan. Gurindam 12, Mocopat, Uro-Uro, Hikayat Perang Sabil, Dai Dangdo, Tajussalatin, Saman, Syech-Syechan, Rumpaka, Sinrilik, Carita Parahyangan, Negara Kartagama, Sure ‘Ila Galigo, adalah sedikit dari begitu banyak karya sastra tradisi yang kita miliki. Belum lagi seperti mantra, jampi dan jangjawokan. Rumpun seni tradisi, lahir dari interaksi manusia dengan alam dan Tuhan. Karenanya, dimensi seni tradisi sedemikian beragam, dan selaras dengan perkembangan sains dan teknologi, berkembang terus. Boleh jadi, akan meninggalkan jamannya dari masa ke masa. Dalam perspektif demikian, dapat dikatakan, proses perkembangan peradaban (civilization development) suatu bangsa tak bisa membebaskan dirinya dari seni tradisi.
Ada pendapat menarik yang disampaikan Irvan A. Noe’man mantan Ketua Jurusan Desain IKJ dan sekarang staf pengajar jurusan Desain Universitas Paramadina menyampaikan pendapatnya tentang konsep berkesenian yang bukan hanya mengedepankan karya estetika semata, tapi harus mengandung nilai etika. Seni tradisi menempatkan kesenian itu diabadikan untuk kehidupan atau I’art pour I’homme. Namun di era modernisme terjadi pergeseran dengan lahirnya konsep Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada ala Filsuf Rene Descartes) sehingga kesenian diabadikan hanya untuk kesenian atau I’art pour I’art. Menurut Irvan A Noe’man ke depan, manusia kembali menyatakan antara seni untuk seni sekaligus untuk kehidupan.
Upaya untuk memelihara seni tradisi, dengan demikian menjadi sangat penting, terutama bila dihubungkan dengan upaya melakukan proses pemberdayaan. Untuk mencapai kualitas hidup manusia. Dalam konteks itulah, kita memandang tak relevan lagi menjadikan urusan pengembangan kebudayaan sebagai part of tourisme industry atau bagian dari industri pariwisata. Apalagi hanya sekedar bagian dari Creative Industry (industri kreatif) semata.
Semestinya kita menguatkan komitmen dan tanggung jawab peradaban (civilization responsibility) untuk terus menghidupkan seni tradisi, secara kontemporer. Hal ini penting, agar seni tradisi kini, tidak lagi hanya motherland art di ujung peradaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar