Seiring perkembangan zaman, semakin kompleks pula seni
yang tercipta, kini di era modern banyak perkembangan seni yang tercipta sesuai
budaya modern, sekarang kita mengenal yang namanya desain grafis, mural,
grafiti, street art, performent art, video art bahkan video mapping yang dapat
dikategorikan karya seni baru atau bisa disebut sebagai karya seni kontemporer.
Timbul satu pertanyaan yang mengelitik, bagaimana nasib seni tradisi? Punahkah?
Ternyata tidak karena seni tradisi adalah akar seni modern.
Jejak peradaban suatu bangsa berkembang selaras dengan
perkembangan kebudayaannya. Di dalamnya perkembangan seni tradisi, sains dan
teknologi. Seni tradisi dalam banyak hal dipengaruhi oleh orientasi nilai hidup
manusia dalam proses interaksinya dengan alam, sesama manusia, dan Tuhan. Dari
sini kita bisa lihat bahwa pada seni tradisi, dapat kita temukan beberapa aspek
yang melatarbelakangi. Aspek-aspek tersebut antara lain aspek magis,
spiritualitas dan aspek kebiasaan-kebiasaan alamiah (natural habits).
Intensitas dari semua aspek itu dalam kehidupan manusia,
kemudian menjadi dimensi nilai dasar. Bagi masyarakat Indonesia yang dipengaruhi banyak
oleh dinamisme, animisme, politeisme dan akhirnya monotheisme, seni tradisi
merupakan padanan harmonis manusia dengan alam sekitarnya.
Kehidupan manusia dan alam membentuk suatu habitat, yang
memberikan dasar pemikiran serta daya kreatif manusia untuk mengekspresikan
berbagai pemahaman mereka mengenai hidup dan kehidupan. Melalui berbagai karya sastra
tradisi, yang kelak mempengaruhi perkembangan seni tradisi lainnya, kita
menemukan korelasi integratif seni tradisi dengan ekspresi budaya masyarakat
yang eksis hingga saat ini.
Apa yang kita sering lihat bukan melakukan di negeri
ini, dengan berbagai ritual adalah bukti kongret bagaimana seni tradisi tidak
terpisahkan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Di dalam Dharma Ciksakanda,
sepuluh ajaran kehidupan bagi manusia, misalnya, diuraikan dengan terang
korelasi nilai hidup manusia dengan alam. Itulah sebabnya, seni tradisi sering
juga disebut sebagai natural art: seni yang dilahirkan oleh alam.
N. Syamsuddin Ch Haesy, pemimpin umum majalah Seni ARTI
dalam ulasan artikulasi di majalah tersebut, menegaskan bahwa Natural Art tak
semata-mata menghasilkan karya-karya artistik, karena di dalamnya terintegrasi
dengan kuat pemahaman estetik dan etik dalam satu kesatuan yang utuh. Lebih
jauh lagi N. Syamsuddin Ch. Haesy memaparkan bahwa ketika Dharma Ciksakanda
mengisyaratkan manusia mesti belajar pada habitat satwa dan tetumbuhan untuk
mengenali alam lebih jauh, hampir seluruh seni tradisi kita mengekspresikannya
secara impresif dan ekspresif.
Apa yang kita lihat dan rasakan sebagai ekspresi seni
masyarakat Indonesia,
merupakan produk daya kreatif dalam memahami dan menterjemahkan dinamika alam.
Seni tradisi berhubungan dengan tanah dan air. Itulah yang kita temukan dalam
berbagai ritual yang menjelma menjadi kesenian. Mulai dari tanah Papua, sampai
Pulau We di Ujung Barat. Karenanya seni tradisi juga sering disebut sebagai Motherland
Art.
Lambang-lambang yang terdapat dalam cabang sebni rupa
tradisi pun integrasi dengan seluruh anasir yang terdapat pada alam. Contoh
kongkretnya antara lain, batik, sarung, songket, sutra dan tenun ikat pun
demikian halnya dengan kendang, tifa, gondang dan berbagai instrumen musik
perkusi tradisional. Meskipun gong, kempul, saron, kenong dan alat tetabuhan
nayaga merupakan produk budaya impor yang masuk bersamaan dengan masuknya
ajaran Hindu dan Budha.
Demikian pula sintren, kecapi, pakacaping dan sasando
merupakan instrumen musik string, produk seni yang berkembang secara khas di
lingkungan masyarakat Jawa, Sunda, Bugis, Rote, Batak dan Dayak. Berbeda dengan
ukulele yang dibawa oleh penjajah Portugis karena di Champa, China
dan Vietnam Ukulele juga bisa ditemukan.
Proses kreatif seni tradisi, pada masyarakat merupakan
vision treathment masyarakat tradisi dalam mempertahankan dan mengembangkan
ekspresi budayanya. Inilah daya hidup seni tradisi, yang mengikat seluruh kalangan
mulai masyarakat paling rendah hingga Raja. Karenanya, begitu banyak produk
seni tradisi yang merupakan karya kreatif para Raja. Terutama dalam bentuk
tarian. Ngremo dan Pakarena, misalnya boleh disebut sebagai contoh dari begitu
banyak karya kreaqtif kaum bangsawan.
Dimensi lain seni tradisi kita dapatkan dari begitu
banyak karya sastra tradisi, atau sastra lisan: Puisi, prosa liris, tembang,
mocopat dan sejenisnya. Mulai dari sastra bertendensi berdimensi istana
sentris, sampai sastra religius dan sastra pembebasan. Gurindam 12, Mocopat,
Uro-Uro, Hikayat Perang Sabil, Dai Dangdo, Tajussalatin, Saman, Syech-Syechan,
Rumpaka, Sinrilik, Carita Parahyangan, Negara Kartagama, Sure ‘Ila Galigo,
adalah sedikit dari begitu banyak karya sastra tradisi yang kita miliki. Belum
lagi seperti mantra, jampi dan jangjawokan. Rumpun seni tradisi, lahir dari
interaksi manusia dengan alam dan Tuhan. Karenanya, dimensi seni tradisi
sedemikian beragam, dan selaras dengan perkembangan sains dan teknologi,
berkembang terus. Boleh jadi, akan meninggalkan jamannya dari masa ke masa.
Dalam perspektif demikian, dapat dikatakan, proses perkembangan peradaban (civilization
development) suatu bangsa tak bisa membebaskan dirinya dari seni
tradisi.
Ada pendapat menarik yang disampaikan Irvan A. Noe’man mantan Ketua
Jurusan Desain IKJ dan sekarang staf pengajar jurusan Desain Universitas
Paramadina menyampaikan pendapatnya tentang konsep berkesenian yang bukan hanya
mengedepankan karya estetika semata, tapi harus mengandung nilai etika. Seni
tradisi menempatkan kesenian itu diabadikan untuk kehidupan atau I’art pour
I’homme. Namun di era modernisme terjadi pergeseran dengan lahirnya konsep
Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada ala Filsuf Rene Descartes) sehingga
kesenian diabadikan hanya untuk kesenian atau I’art pour I’art. Menurut
Irvan A Noe’man ke depan, manusia kembali menyatakan antara seni untuk seni
sekaligus untuk kehidupan.
Upaya untuk memelihara seni tradisi, dengan demikian
menjadi sangat penting, terutama bila dihubungkan dengan upaya melakukan proses
pemberdayaan. Untuk mencapai kualitas hidup manusia. Dalam konteks itulah, kita
memandang tak relevan lagi menjadikan urusan pengembangan kebudayaan sebagai part
of tourisme industry atau bagian dari industri pariwisata. Apalagi
hanya sekedar bagian dari Creative Industry (industri kreatif) semata.
Semestinya kita menguatkan komitmen dan tanggung jawab
peradaban (civilization responsibility) untuk terus menghidupkan seni
tradisi, secara kontemporer. Hal ini penting, agar seni tradisi kini, tidak
lagi hanya motherland art di ujung peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar