Kamis, 28 Juni 2012

Keroncong Terus Mengalun



Apa yang terlintas dalam benak Anda saat mendengar kata keroncong? Sundari Soekotjo kah? Atau Bengawan Solo? Mungkin memang benar bila kedua  pilihan tersebut menjadi jawaban, tapi tahukah anda bahwa keroncong sebenarnya merupakan warisan budaya yang dibawa oleh bangsa Portugis. Seperti di ketahui bahwa Musik Keroncong masuk ke Indonesia sekitar tahun 1512, yaitu pada waktu Ekspedisi Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque datang ke Malaka dan Maluku tahun 1512.
Saat terjadi pergolakan di Maluku dan Tidore, bangsa Portugis pun bergeser ke daerah Ambon. Lalu menyusuri Sunda kecil dan singgah di Banten. Setelah itu bangsa Portugis yang tinggal di Batavia, mereka membuat perkampungan di daerah Cilincing yang akhirnya di beri nama Kampung Toegoe. Dalam perjalanannya, keturunan Portugis ini sering berkumpul dan bermain musik  bersama dengan menggunakan beberapa alat musik yang mereka bawa dan buat sendiri. Dari kebiasaan itu, kemudian terbentuk grup musik yang terorganisir. Pada tahun 1920 mereka membentuk grup musik Orkes Krontjong Poesaka Moresco Toegoe yang kemudian hari lebih dikenal dengan Orkes Krontjong Toegoe.
Lantas bagaimana musik tersebut menjadi musik keroncong? Dari berbagai alat musik yang dimainkan tersebut terdengar suara ‘crong-crong’ yang cukup dominan, maka disebutlah musik yang mereka sering mainkan  kala senggang tersebut  sebagai musik ‘keroncong’.
Perkembangan musik keroncong pun mengalami pasang surut dan sempat muncul melalui lagu-lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi keroncong  asal Jawa. Lagu-lagu yang sangat fenomenal tentunya adalah lagu Bengawan Solo karya Gesang. Setelah itu dinamika musik di Indonesia pun mulai dinamis dengan banyaknya seni budaya asing yang masuk dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Pem-“pribumi”-an keroncong menjadikannya seni campuran, dengan  alat-alat musik seperti sitar, rebab, suling bambu, gendang, kenong, saron, gong. Saat ini alat musik yang dipakai dalam orkes keroncong  mencakup ; ukulele cuk, berdawai 3 sebagai alat musik utama yang menyuarakan crong –crong, ukulele cak, berdawai 4, gitar melodi, biola, flute, selo, dan kontrabas.
Menengok perjalanan grup keroncong di Pekalongan
Pekalongan sebagai kota pesisir utara Jawa Tengah yang sangat terkenal karena batiknya, pada era tahun 1970 an di kenal sebagai gudangnya musik dangdut. Ditengah maraknya musik dangdut, ternyata tumbuh juga musik keroncong. Ini ditandai dengan munculnya group Orkes Keroncong dari kelurahan Sapuro, Kecamatan Pekalongan Barat. Group orkes keroncong tersebut  berdiri pada tahun 1976 dengan nama Orkes Keroncong “Karya Nada”. Dalam perjalanannya kemudian berubah nama menjadi Orkes Keroncong “Pesona Citra Nada” dan sekarang berubah menjadi Orkes Keroncong “Pesona Batik”.
Sejak tahun 1976 Orkes Keroncong “Pesona Batik” telah banyak mengukir prestasi, prestasi yang terakhir pada tahun 2010 berhasil meraih predikat penampil terbaik ke tiga lomba Keroncong tingkat Jawa Tengah dan DIY. Disamping prestasi tersebut Orkes Keroncong Pesona Batik selalu aktif mengikuti lomba, seperti mewakili Pekalongan mengikuti lomba penyanyi keroncong tingkat nasional. Tahun 1988 mengiringi  Teguh Utomo lomba penyanyi keroncong tingkat nasional dan mengiringi  Iwan Adi Nugroho pada event serupa pada tahun 2008 lalu.
Kreatifitas orkes keroncong Pesona Batik dalam mengaransemen lagu keroncong cukup baik. Di dalam setiap penampilannya mampu membawakan lagu yang cukup variatif, tidak hanya lagu – lagu keroncong standar, langgam dan stambul saja. tapi mampu mengikuti tren yang ada misalnya membawakan  lagu – lagu Pop, Dangdut, Campursari, hingga lagu barat yang digubah menjadi aransemen keroncong yang menawan.
Tidak heran apa bila group ini cukup mendapat tempat di hati masyarakat, bahkan pemerintah daerah Pekalongan pun menjadikan Pesona Batik ini menjadi aset kesenian yang sering diminta tampil menghibur tamu pejabat, seperti ketika kunjungan Bu Ani Yudhoyono pada hari batik kemarin hingga menghibur tamu dari UNESCO. Dan selalu mendapat sambutan yang cukup baik.  Orkes Keroncong Pesona Batik saat ini dipimpin oleh Bapak Solichin dan sekretaris Istadi Busro sedangkan musisi yang saat ini aktif antara lain pemain flute : Solichin, biola : Sugeng, melodi : M Taufik, Cak : Aris Purnomo, Cuk : Hery, Celo : Mistak, bass : A Tiril, SE, dan vokalisnya ada Alni Wijaya, Lisna, Iwan Adi Nugroho serta Dyah Yuni.
Di dalam perjalanannya Orkes Keroncong Pesona Batik selama kurang lebih tiga puluh lima tahun tersebut tentu saja beberapa kali ganti personil dan ganti generasi. Semangat menghidupkan keroncong dari group ini patut di banggakan, yang memungkinkan group orkes keroncong ini tetap eksis dan berprestasi hingga sekarang. Sepertinya semangat itu bisa dilacak ketika kita tengok antara tahun 1990 sampai 2004 Orkes Keroncong Pesona Batik aktif menyelenggarakan lomba penyanyi keroncong, dari tingkat remaja  sampai dewasa. Dan para pemenang pun dibina untuk di ikutkan pada event  lomba yang lebih tinggi, seperti acara Bintang Radio dan Televisi.
Sulitnya regenerasi
Menurut bapak Solichin, bahwa satu hal yang menjadi keprihatinan beliau adalah sulitnya regenerasi, Orkes Keroncong Pesona  Batik adalah salah satu  dari 2 group yang masih eksis di kota Pekalongan sampai saat ini. Sebagai salah satu yang masih bertahan tentu saja perlu adanya regenerasi, namun ternyata sulit untuk di harapkan generasi muda sekarang mengeluti keroncong. Meskipun sebenarnya  banyak juga anak –anak muda yang mencoba mendalami dan belajar, akan tetapi seringnya tidak bertahan lama berlatih dengan alasan lebih sulit di banding belajar musik lainnya. Dan bahkan sebagian lainnya tidak mau belajar keroncong dengan alasan kuno dan musik orang tua
Lebih jauh bapak Solichin mengungkapkan bahwa keroncong itu tidak pernah mati,apa yang dilakukan adalah memberitahukan kepada masyarakat luas bahwa keroncong itu masih ada dan hidup. Dan berharap orang akan aware dan merangsang orang tertarik dan tumbuhnya orkes keroncong –orkes keroncong baru, lebih –lebih beranggotakan para remaja.
Padahal musik keroncong adalah budaya bangsa yang mesti di lestarikan. Untuk itu perlu strategi khusus bagaimana memperkenalkan keroncong ke generasi muda, apalagi yang tua-tua masih semangat melestarikan. Mungkin perlu kreatifitas mengolah keroncong berrasa anak muda, misalnya seperti  yang dilakukan Bondan Prakoso dan grupnya Bondan Prakoso & Fade2 Black. Yang menciptakan komposisi berjudul “Keroncong Bondol” yang berhasil memadukan musik gaya rap dengan musik  latar belakang musik keroncong. Atau Harmony Chinese  Musik Group di tahun 2008 di Solo Internasional Keroncong Festival membuat kejutan  dengan memasukan unsur alat musik tradisional Tionghoa dan menamainya sebagai keroncong Mandarin.
Menjaga keberlangsungan Keroncong harus menjadi tanggung jawab bersama, pemerintah daerah, para musisi dan pihak – pihak yang perduli. Dukungan dari semua pihak akan memudahkan regenerasi. Beberapa cara dapat di lakukan antara lain seperti, workshop keroncong ke sekolah – sekolah, mengadakan lomba keroncong tingkat pelajar, membuat buletin keroncong, mengisi acara tv dan radio dan sebagainya.
Regenerasi kini menjadi salah satu tujuan yang harus kita galakkan, agar Orkes Keroncong Pesona Batik yang merupakan bagian dari perjalanan sejarah keroncong di Pekalongan, karena berkat group keroncong inilah keroncong itu ada di kota batik. Fakta yang cukup penting adalah keroncong merupakan musik asli Indonesia, seperti dikatakan oleh salah satu anggota Orkes Krontjong Toegoe, Arthur J. Mitchiels yang merupakan generasi ke-10 dari pendiri Krontjong Toegoe. “Keroncong itu hanya ada di Indonesia, di Portugis sendiri itu tidak ada yang namanya keroncong, iramanya pun berbeda. Jadi musik keroncong adalah musik asli Indonesia yang lahir di kampung Toegoe”. Sayangnya , hingga saat ini masih ada beberapa pihak yang memandang keroncong dengan sebelah mata, padahal keroncong itu sendiri menarik dan tidak terpatok pada sesuatu yang jadul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar