Apa yang terlintas dalam benak
Anda saat mendengar kata keroncong? Sundari Soekotjo kah? Atau Bengawan Solo?
Mungkin memang benar bila kedua pilihan
tersebut menjadi jawaban, tapi tahukah anda bahwa keroncong sebenarnya
merupakan warisan budaya yang dibawa oleh bangsa Portugis. Seperti di ketahui
bahwa Musik Keroncong masuk ke Indonesia sekitar tahun 1512, yaitu pada waktu Ekspedisi
Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque datang ke Malaka dan Maluku tahun
1512.
Saat terjadi pergolakan di
Maluku dan Tidore, bangsa Portugis pun bergeser ke daerah Ambon. Lalu menyusuri
Sunda kecil dan singgah di Banten. Setelah itu bangsa Portugis yang tinggal di
Batavia, mereka membuat perkampungan di daerah Cilincing yang akhirnya di beri
nama Kampung Toegoe. Dalam perjalanannya, keturunan Portugis ini sering
berkumpul dan bermain musik bersama
dengan menggunakan beberapa alat musik yang mereka bawa dan buat sendiri. Dari
kebiasaan itu, kemudian terbentuk grup musik yang terorganisir. Pada tahun 1920
mereka membentuk grup musik Orkes
Krontjong Poesaka Moresco Toegoe yang kemudian hari lebih dikenal dengan Orkes Krontjong Toegoe.
Lantas bagaimana musik tersebut
menjadi musik keroncong? Dari berbagai alat musik yang dimainkan tersebut
terdengar suara ‘crong-crong’ yang cukup dominan, maka disebutlah musik yang
mereka sering mainkan kala senggang
tersebut sebagai musik ‘keroncong’.
Perkembangan musik keroncong pun
mengalami pasang surut dan sempat muncul melalui lagu-lagu yang dinyanyikan
oleh penyanyi keroncong asal Jawa.
Lagu-lagu yang sangat fenomenal tentunya adalah lagu Bengawan Solo karya
Gesang. Setelah itu dinamika musik di Indonesia pun mulai dinamis dengan
banyaknya seni budaya asing yang masuk dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Pem-“pribumi”-an keroncong
menjadikannya seni campuran, dengan
alat-alat musik seperti sitar, rebab, suling bambu, gendang, kenong,
saron, gong. Saat ini alat musik yang dipakai dalam orkes keroncong mencakup ; ukulele cuk, berdawai 3 sebagai alat musik utama yang menyuarakan crong –crong, ukulele cak, berdawai 4, gitar melodi, biola, flute,
selo, dan kontrabas.
Menengok perjalanan grup keroncong di Pekalongan
Pekalongan sebagai kota pesisir
utara Jawa Tengah yang sangat terkenal karena batiknya, pada era tahun 1970 an
di kenal sebagai gudangnya musik dangdut. Ditengah maraknya musik dangdut,
ternyata tumbuh juga musik keroncong. Ini ditandai dengan munculnya group Orkes
Keroncong dari kelurahan Sapuro, Kecamatan Pekalongan Barat. Group orkes
keroncong tersebut berdiri pada tahun
1976 dengan nama Orkes Keroncong “Karya Nada”. Dalam perjalanannya kemudian
berubah nama menjadi Orkes Keroncong “Pesona Citra Nada” dan sekarang berubah
menjadi Orkes Keroncong “Pesona Batik”.
Sejak tahun 1976 Orkes Keroncong
“Pesona Batik” telah banyak mengukir prestasi, prestasi yang terakhir pada
tahun 2010 berhasil meraih predikat penampil terbaik ke tiga lomba Keroncong
tingkat Jawa Tengah dan DIY. Disamping prestasi tersebut Orkes Keroncong Pesona
Batik selalu aktif mengikuti lomba, seperti mewakili Pekalongan mengikuti lomba
penyanyi keroncong tingkat nasional. Tahun 1988 mengiringi Teguh Utomo lomba penyanyi keroncong tingkat
nasional dan mengiringi Iwan Adi Nugroho
pada event serupa pada tahun 2008 lalu.
Kreatifitas orkes keroncong
Pesona Batik dalam mengaransemen lagu keroncong cukup baik. Di dalam setiap
penampilannya mampu membawakan lagu yang cukup variatif, tidak hanya lagu –
lagu keroncong standar, langgam dan stambul saja. tapi mampu mengikuti tren
yang ada misalnya membawakan lagu – lagu
Pop, Dangdut, Campursari, hingga lagu barat yang digubah menjadi aransemen
keroncong yang menawan.
Tidak heran apa bila group ini
cukup mendapat tempat di hati masyarakat, bahkan pemerintah daerah Pekalongan
pun menjadikan Pesona Batik ini menjadi aset kesenian yang sering diminta
tampil menghibur tamu pejabat, seperti ketika kunjungan Bu Ani Yudhoyono pada
hari batik kemarin hingga menghibur tamu dari UNESCO. Dan selalu mendapat
sambutan yang cukup baik. Orkes
Keroncong Pesona Batik saat ini dipimpin oleh Bapak Solichin dan sekretaris
Istadi Busro sedangkan musisi yang saat ini aktif antara lain pemain flute : Solichin, biola : Sugeng, melodi : M Taufik,
Cak : Aris Purnomo, Cuk : Hery, Celo : Mistak, bass : A Tiril, SE,
dan vokalisnya ada Alni Wijaya, Lisna, Iwan Adi Nugroho serta Dyah Yuni.
Di dalam perjalanannya Orkes
Keroncong Pesona Batik selama kurang lebih tiga puluh lima tahun tersebut tentu
saja beberapa kali ganti personil dan ganti generasi. Semangat menghidupkan
keroncong dari group ini patut di banggakan, yang memungkinkan group orkes
keroncong ini tetap eksis dan berprestasi hingga sekarang. Sepertinya semangat
itu bisa dilacak ketika kita tengok antara tahun 1990 sampai 2004 Orkes
Keroncong Pesona Batik aktif menyelenggarakan lomba penyanyi keroncong, dari
tingkat remaja sampai dewasa. Dan para
pemenang pun dibina untuk di ikutkan pada event
lomba yang lebih tinggi, seperti acara Bintang Radio dan Televisi.
Sulitnya regenerasi
Menurut bapak Solichin, bahwa
satu hal yang menjadi keprihatinan beliau adalah sulitnya regenerasi, Orkes
Keroncong Pesona Batik adalah salah satu
dari 2 group yang masih eksis di kota
Pekalongan sampai saat ini. Sebagai salah satu yang masih bertahan tentu saja
perlu adanya regenerasi, namun ternyata sulit untuk di harapkan generasi muda
sekarang mengeluti keroncong. Meskipun sebenarnya banyak juga anak –anak muda yang mencoba
mendalami dan belajar, akan tetapi seringnya tidak bertahan lama berlatih
dengan alasan lebih sulit di banding belajar musik lainnya. Dan bahkan sebagian
lainnya tidak mau belajar keroncong dengan alasan kuno dan musik orang tua
Lebih jauh bapak Solichin mengungkapkan
bahwa keroncong itu tidak pernah mati,apa yang dilakukan adalah memberitahukan
kepada masyarakat luas bahwa keroncong itu masih ada dan hidup. Dan berharap
orang akan aware dan merangsang orang tertarik dan tumbuhnya orkes keroncong
–orkes keroncong baru, lebih –lebih beranggotakan para remaja.
Padahal musik keroncong adalah
budaya bangsa yang mesti di lestarikan. Untuk itu perlu strategi khusus
bagaimana memperkenalkan keroncong ke generasi muda, apalagi yang tua-tua masih
semangat melestarikan. Mungkin perlu kreatifitas mengolah keroncong berrasa
anak muda, misalnya seperti yang
dilakukan Bondan Prakoso dan grupnya Bondan Prakoso & Fade2 Black. Yang
menciptakan komposisi berjudul “Keroncong Bondol” yang berhasil memadukan musik
gaya rap dengan musik latar belakang
musik keroncong. Atau Harmony Chinese
Musik Group di tahun 2008 di Solo Internasional Keroncong Festival
membuat kejutan dengan memasukan unsur
alat musik tradisional Tionghoa dan menamainya sebagai keroncong Mandarin.
Menjaga keberlangsungan Keroncong
harus menjadi tanggung jawab bersama, pemerintah daerah, para musisi dan pihak
– pihak yang perduli. Dukungan dari semua pihak akan memudahkan regenerasi.
Beberapa cara dapat di lakukan antara lain seperti, workshop keroncong ke
sekolah – sekolah, mengadakan lomba keroncong tingkat pelajar, membuat buletin
keroncong, mengisi acara tv dan radio dan sebagainya.
Regenerasi kini menjadi salah
satu tujuan yang harus kita galakkan, agar Orkes Keroncong Pesona Batik yang
merupakan bagian dari perjalanan sejarah keroncong di Pekalongan, karena berkat
group keroncong inilah keroncong itu ada di kota batik. Fakta yang cukup
penting adalah keroncong merupakan musik asli Indonesia, seperti dikatakan oleh
salah satu anggota Orkes Krontjong Toegoe, Arthur J. Mitchiels yang merupakan
generasi ke-10 dari pendiri Krontjong Toegoe. “Keroncong itu hanya ada di
Indonesia, di Portugis sendiri itu tidak ada yang namanya keroncong, iramanya
pun berbeda. Jadi musik keroncong adalah musik asli Indonesia yang lahir di
kampung Toegoe”. Sayangnya , hingga saat ini masih ada beberapa pihak yang
memandang keroncong dengan sebelah mata, padahal keroncong itu sendiri menarik
dan tidak terpatok pada sesuatu yang jadul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar